CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan satuan kata yang menjadi amat populer belakangan ini. Kepopuleran kata tersebut, salah satu penyebabnya adalah karena banyak perusahaan, terutama bidang industri migas, pupuk anorganik, perkertasan, perkayuan, per-cat-an, kehutanan (Perhutani), kebaturaan, ke-PLTU-an dan masih banyak lagi, yang pada substansi dan esensinya mempunyai potensi terhadap pengrusakan lingkungan hidup, namun dalam upaya pelestarian dan atau dalam menjaga kelangsungan hidup lingkungan terabaikan dan atau sengaja diabaikan. Sehingga, kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana.
Lingkungan Hidup
Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup dan lingkupnya berdasarkan peraturan perundang-undangan, baik Undang-Undang (UU) maupun Peraturan Pemerintah (PP) adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Psl 1.1. UU No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). Karena pengertian dan lingkup lingkungan hidup itu luas, dan banyak menjadi masalah keberadaannya, baik oleh sebab faktor alam itu sendiri, seperti bencana, maupun oleh sebab faktor manusia yang menjadikan lingkungan itu tidak dan atau kurang mempunyai keseimbangan, yang mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan hidup itu sendiri.
Titik tekan pengelolaan lingkungan hidup adalah titik yang harus diletakan pada fungsi, baik substansinya maupun esensinya, sehingga jika ada kebijakan maupun penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup, di mana fungsi tersebut tidak lagi menjadi fungsi yang sesungguhnya, yaitu baik secara substansial maupun esensialnya, maka itu bukan lagi yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan hidup.
Oleh sebab itu, jika hal-hal tersebut, ternyata tidak lagi sesuai dengan definisi fungsi yang menjadi fungsi itu sendiri, maka hal tersebut sesungguhnya hanya sekedar pengelolaan anggaran (baca: proyek) dan atau mem-fungsi-kan anggaran (dana) untuk menjadi fungsi atau agar anggaran itu menjadi berfungsi, yang di luar fungsi itu sendiri.
Jika kita memiliki tingkat kecerdasan yang kurang atau tidak cerdas, memang terkesan dan atau seolah-olah dana atau anggaran tersebut digunakan untuk program dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, seperti yang terjadi di Indramayu sebagai salah satu contoh, antara lain, dana CSR Pertamina, program dan kegiatan anggaran di Kantor LH (Lingkungan Hidup), DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan), Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kesehatan, Pengairan, Cipta Karya, Bina Marga, BUMD (PDAM dan BWI), Rumah Sakit, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, dan program dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten melalui SKPD/OPD yang bersangkutan dengan persoalan lingkungan hidup, termasuk dalam hal ini adalah air dan limbah, tata ruang (terbuka dan hijau), dan PERHUTANI yang gagal dalam pengelolaan lingkungan hidup, di mana pembalakan dan pembakaran tidak bisa dikendalikan, di mana hutan sebagi jantung kehidupan.
Tanggungjawab Lingkungan Hidup
Karena persoalan lingkungan hidup itu ada subyek (pelaku) dan ada pula obyeknya (kerusakan, dan ketidakseimbangan lingkungan atau korbanya) yang harus direhabitasi, maka secara kefungian Negara ada batas-batas otoritas dan otorisasinya yang harus bertanggungjawab dan atau menjadi tanggungjawab melekatnya, kemudian ada batas-batas moralitas yang menjadi tanggungjwabnya.
Batas-batas otoritas dan otorisasinya merupakan keniscayaan Negara sepenuhnya, dalam hal ini Pemerintah, baik Daerah mupun Pusat. Otorisasinya melalui mekanisme fungi-fungsi kepemerintahan, terutama yang terkait dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) berdasarkan piranti atau pranata kelembagaan penyelenggaraan pemerintahan. Karena, Pemerintahlah yang mengeluarkan regulasi, paket kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup, persetujuan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), terbitnya SK (Surat Keputusan) untuk apakah kegiatan usaha, baik perorangan maupun badan hukum (corporate) tersebut diterbitkan perizinannya ataukah ditolak dalam melakukan kegiatan usahanya, di mana kegiatan usaha tersebut akan berdampak dan atau berpotensi terhadap kerusakan lingkungan, yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi prasyarat atau disyaratkan untuk diperbolehkannya melakukan kegiatan usaha tersebut.
Keniscayaan berikutnya adalah pelaku ekonomi kegiatan usaha tersebut. Artinya, Pengusaha, baik perorangan maupun yang bernama Corporate bersama-sama Pemerintah bertanggungjawab sepenuhnya untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup, dan menjaga agar jangan sampai terjadi kerusakan lingkungan hidup, apalagi terjadi pengrusakan lingkungan hidup.
Keniscayaan terakhir adalah masyarakat itu sendiri. Karena agar tidak terjadi bencana dan petaka, kesehatan lingkungan terjaga, dan kenyaman lingkungan meng-ada, maka masyarakat, baik kolektif maupun individual secara moral bertanggungjawab dan mempunyai tanggungjawab. Tetapi, jika kerusakan lingkungan tersebut karena akibat adanya kegiatan usaha atau adanya pengrusakan, baik dilakukan oleh perorangan maupun corporate atau Lembaga, maka kenyaman kesehatan lingkungan yang rusak tersebut bukan menjadi tanggungjawab, baik secara moral maupun material dipikul oleh masyarakat, seperti kasus lumpur lavindo, kerusakan lingkungan oleh PT. Lavindo Brantas Aburizal Bakrie Cs. Masyarakat berkewajiban secara moral bersama-sama Pemerintah, jika kerusakan lingkungan tersebut dikarenakan oleh faktor alam (bencana), seperti longsor, gunung meletus, tsunami dan sebagainya yang bukan karena kejahilan manusia.
Peran Serta Masyarakat
Masyarakat dalam peraturan perundang-undangan diberikan peran, dan sekaligus dituntut berperan serta dalam keajegan lingkungan hidup.
Jika kita memiliki tingkat kecerdasan yang kurang atau tidak cerdas, memang terkesan dan atau seolah-olah dana atau anggaran tersebut digunakan untuk program dan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, seperti yang terjadi di Indramayu sebagai salah satu contoh, antara lain, dana CSR Pertamina, program dan kegiatan anggaran di Kantor LH (Lingkungan Hidup), DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan), Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kesehatan, Pengairan, Cipta Karya, Bina Marga, BUMD (PDAM dan BWI), Rumah Sakit, Dinas Perkebunan dan Kehutanan, dan program dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten melalui SKPD/OPD yang bersangkutan dengan persoalan lingkungan hidup, termasuk dalam hal ini adalah air dan limbah, tata ruang (terbuka dan hijau), dan PERHUTANI yang gagal dalam pengelolaan lingkungan hidup, di mana pembalakan dan pembakaran tidak bisa dikendalikan, di mana hutan sebagi jantung kehidupan.
Tanggungjawab Lingkungan Hidup
Karena persoalan lingkungan hidup itu ada subyek (pelaku) dan ada pula obyeknya (kerusakan, dan ketidakseimbangan lingkungan atau korbanya) yang harus direhabitasi, maka secara kefungian Negara ada batas-batas otoritas dan otorisasinya yang harus bertanggungjawab dan atau menjadi tanggungjawab melekatnya, kemudian ada batas-batas moralitas yang menjadi tanggungjwabnya.
Batas-batas otoritas dan otorisasinya merupakan keniscayaan Negara sepenuhnya, dalam hal ini Pemerintah, baik Daerah mupun Pusat. Otorisasinya melalui mekanisme fungi-fungsi kepemerintahan, terutama yang terkait dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) berdasarkan piranti atau pranata kelembagaan penyelenggaraan pemerintahan. Karena, Pemerintahlah yang mengeluarkan regulasi, paket kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup, persetujuan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan), terbitnya SK (Surat Keputusan) untuk apakah kegiatan usaha, baik perorangan maupun badan hukum (corporate) tersebut diterbitkan perizinannya ataukah ditolak dalam melakukan kegiatan usahanya, di mana kegiatan usaha tersebut akan berdampak dan atau berpotensi terhadap kerusakan lingkungan, yang tidak sesuai dengan apa yang menjadi prasyarat atau disyaratkan untuk diperbolehkannya melakukan kegiatan usaha tersebut.
Keniscayaan berikutnya adalah pelaku ekonomi kegiatan usaha tersebut. Artinya, Pengusaha, baik perorangan maupun yang bernama Corporate bersama-sama Pemerintah bertanggungjawab sepenuhnya untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup, dan menjaga agar jangan sampai terjadi kerusakan lingkungan hidup, apalagi terjadi pengrusakan lingkungan hidup.
Keniscayaan terakhir adalah masyarakat itu sendiri. Karena agar tidak terjadi bencana dan petaka, kesehatan lingkungan terjaga, dan kenyaman lingkungan meng-ada, maka masyarakat, baik kolektif maupun individual secara moral bertanggungjawab dan mempunyai tanggungjawab. Tetapi, jika kerusakan lingkungan tersebut karena akibat adanya kegiatan usaha atau adanya pengrusakan, baik dilakukan oleh perorangan maupun corporate atau Lembaga, maka kenyaman kesehatan lingkungan yang rusak tersebut bukan menjadi tanggungjawab, baik secara moral maupun material dipikul oleh masyarakat, seperti kasus lumpur lavindo, kerusakan lingkungan oleh PT. Lavindo Brantas Aburizal Bakrie Cs. Masyarakat berkewajiban secara moral bersama-sama Pemerintah, jika kerusakan lingkungan tersebut dikarenakan oleh faktor alam (bencana), seperti longsor, gunung meletus, tsunami dan sebagainya yang bukan karena kejahilan manusia.
Peran Serta Masyarakat
Masyarakat dalam peraturan perundang-undangan diberikan peran, dan sekaligus dituntut berperan serta dalam keajegan lingkungan hidup.
- Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
- Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
- Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Hak Masyarakat, psl 5 UU No. 23/1997, hal 9)
- Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup.
- Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup. (Kewjiban Masyarakat, psl. 6 dan psl 7. Ibid: hal 10).
Undang-undang tersebut di negeri ini hanya berumah di atas angin. Pemerintah baik dari Pusat maupun sampai Daerah tidak memiliki transaparansi dan integritas serta kejujuran terhadap permasalahan lingkungan hidup, mulai dari problem pencemaran, pemulihan sampai pada penggunaan anggaran APBN/APBD (uang rakyat), dan tanggungjawab masalah manakala terjadi kerusakan dan pengrusakan lingkungan, baik oleh faktor alam (Tuhan) yang diakibatkan oleh manusia maupun oleh prilaku manusia.
Pemerintah juga tidak berdaya menghadapi corporate yang nakal dan atau mafia-mafia corporate. Pada dasarnya corporate yang menggurita adalah bagai anak nakal, sehingga atas kenakalannya Pemerintah mempunyai tanggungjawab sepenuhnya. Tetapi yang paling mengenaskan, Pemerintah kemudian berlutut terhadap kenakalan tersebut, sehingga Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan sebagai bencana nasional, dan mengambil alih tanggungjawab baik moral maupun material atas kerusakan lingkungan, seperti yang terjadi pada kasus Lumpur Lavindo di Sidoarjo. Pertamina di Indramayu, dan masih banyak lagi corporate seperti Lavindo Brantas, seperti di antaranya corporate yang bergerak dibidang Penambangan Emas, Batu Bara, PLTU, yang imbas buang produksinya menghasilkan limbah B3 atau polusi atau pencemaran terhadap kesehatan lingkungan yang melebihi ambang batas kenormalan.
Dana CSR Pertamina
Karena karakter corporate kebanyakan menjadi si anak nakal, maka dana CSR (Corporate Sosial Responsibility) yang menjadi tanggungjawab moral dan meterialnya menjadi terabaikan (baca: diabaikan) dengan berbagai alasan dan alibi untuk menghindar dari tanggungjawab moral dan material tersebut. Sehingga, masyarakat, di mana Pemerintah juga melepaskan tanggungjawabnya, harus melakukan aksi mulai dari yang santun sampai pada yang anarkisme.
Corporate yang berkewajiban secara moral dan material untuk menyediakan dana, baik untuk pergantian ganti rugi terhadap dampak langsung atau tidak langsung terhadap yang terkena kerusakan ataupun pengrusakan lingkungan maupun untuk pemulihan dan pemeliharaan terhadap keberadaan kesehatan lingkungan, ternyata corporate tersebut menghindar atau lari dari tanggungjwabnya.
Sebagai studi kasus, agar kita tidak bermain dengan bayangan dan bayang-bayang dalam hal CSR adalah Pertamina Balongan (Persero). Berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan secara moralitas, maka Pertamina Balongan, suka tidak suka, mau tidak mau, berkewajiban untuk menyediakan dana CSR untuk menjaga pelestarian dan kelestarian lingkungan hidup, terlebih jika adanya kerusakan lingkungan dari dampak produk migasnya.
Namun realitasnya, Pertamina Balongan selalu menghindar dari tanggungjawab moral dan material terhadap ketidaklestarian lingkungan, apalagi terjadinya kerusakan, apakah karena kelaliannya ataukah karena kesengajaannya, termasuk di dalamnya Pertamina Balongan yang tidak sungguh-sungguh melakukan pengelolaan limbah B3 atau limbah lainnya, seperti imbas gas buang dari kandungan etanol maupun etinil, yang berakibat adanya pencemaran lingkungan dalam perairan, di mana kondisi perairan atau air tanah disekitarnya sarat kandungan logam berat yang amat merusak kesehatan manusia.
Kasus yang kemudian meledak dengan tuntutan ganti rugi adalah peristiwa tumpahnya crude oil (minyak mentah) yang berkapasitas 150.000 DWT yang berdampak mencemari perairan sampai pada wilayah Kecamatan Kandanghaur atau sampai Desa Eretan, dan arah ke Timur sampai dengan Kerangkeng atau Karangampel. Tetapi Pertamina Balongan kemudian mengelak dari radius tersebut, kemudian bermain dengan pihak akademik yang melacurkan diri dengan penelitian dan analisisnya yang konon menggunakan teori gelombang atau angin dan teori kontaminasi, seolah-olah semua publik atau masyarakat Indramayu seperti kerbau atau keledai. Sehingga, ketika presentasi terakhir tidak mampu memberikan pertanggungjawaban ilmiah atau akademik dari kesimpulan analisis penelitian yang berangkat dari sebuah data (kepentingan) untuk bertanggungjawab secara moral dan material.
Karena Pertamina Balongan menghindar dari tanggungjawab moral dan materiolnya atas kerusakan lingkungan atas terjadinya pencemaran crud oil, masyarakat lantas melakukan aksi, mulai dari aksi yang santun dalam bentuk dialog atau audensi samapi aksi demo. Pertamina Balongan pun seolah-olah tidak mau mendengarkan dan atau dianggap angin lalu, sehingga aksi demo tersebut harus nyaris anarkis, baru kemudian Pertamina Balongan mau menyelesaikan masalah yang menjadi tanggungjawabnya.
Bupati sebagai representasi dari Pemerintah Daerah pun adalah dua sisi mata uang dengan Pertamina Balongan. Tidak bertanggungjawab dan menghindar dari tanggungjawabnya untuk menyelesaikan masalah. Dari September 2008 hingga kini (Agustus 2012) masalah ganti rugi belum terselesaikan seluruhnya, belum lagi masalah pemulihan lingkungan, tidak terhitung musnahnya berbagi jenis biota laut.
Dan Pertamina Balongan bersama Pemkab, dalam hal ini LH dan beberapa LSM antara lain KOMPI (Koalisi Masyarakat Pesisir), PP (Pemuda Pancasila), Siklus, juga terlibat dalam KKN, manakala penggunaan dana pembersihan atau penanggulangan pengangkatan crude oil yang tumpah dan berceceran di perairan dan pantai. Manipulatif penggunaan dana terjadi mulai dari pengupahan tenaga kerja, biaya angkut, limbah fiktif dan banyaknya pekerja yang melakukan pembersihan limbah. Sehingga, hasilnya tidak optimal dan kemudian dengan segala ketitaktuntasan lantas dibiarkan atau ditinggalkan begitu saja.
Lagi-lagi, kasusnya dipetieskan. Dalam kasus penyaklahgunaan dana CSR untuk penaggulangan pembersihan tumpahan crude oil tersebut ditangani oleh Polres Indramayu kemudian tenggelam. Bukan Indramayu jika proses hukum itu ditegakkan dengan baik dan benar.
Pertamina Balongan, konon telah mengeluarkan dana CSR pada tahun 2009 sebesar Rp 10, 2 milyar lebih yang diserahkan kepada Pemkab. Indramayu, yang kemudian digunakan untuk proyek Break Water, di mana proyek pembangunan Break Water tersebut sarat KKN (Korupsi Kolusi dan Nepostisme) yang disinyalir dibelakangnya proyek tersebut diberikan kepada Muspida, mulai dari Kapolres, Kajari, KaPn dan Dandim, yang tentu mekanismenya tetap (seolah-olah) ditenderkan atau lelang, yang indikasinya agar kasus-kasus yang terindikasikan KKN yang dilakukan Bupati pada saat itu (mantan Bupati) bisa ditengelamkan.
Kasus KKN Break Water semula ditangai Polres Indramayu kemudian (diambil alih) oleh Polwil (hingga lembaganya bubar), lantas oleh Polda Jabar, hingga kini dipetieskan kelangsungan proses hukumnya, padahal sudah banyak saksi atau yang diduga terlibat sudah dilidik dan disidik, bahkan Kejari Indramayu pun pernah melidik kasus Break Water yang sarat KKN tersebut. Jika Rp 10,2 milyar tersebut itu merupakan dana CSR, seharusnya tidak dibenarkan untuk itu. Karena masalah penanggulangan abrasi menjadi kemutlakkan tanggungjawab Pemerintah, baik Daerah maupun Pusat.
Pada tahun 2010, konon Pertamina Balongon menggelontorkan dana CSR senilai Rp 15 milyar, dan lagi-lagi diserahkan ke Bupati atas nama Pemkab. Indramayu. Ternyata, realitas dana CSR sebesar Rp 15 milyar tersebut lenyap dan raib, yang diindikasikan dipakai untuk pemenangan Pemilukada pasangan incumbent ASSU (Hj. Anna Sophanah – H. Supendi).
Kemudian Bupati pada hari Jum’at, 11 Februari 2011) membuat berbagai alasan dan alibi, di antaranya konon dana CSR tersebut telah dipakai untuk:
Bidang Pendidikan Rp 7.766.870.000,00 dengan rincian:
Undang-undang tersebut di negeri ini hanya berumah di atas angin. Pemerintah baik dari Pusat maupun sampai Daerah tidak memiliki transaparansi dan integritas serta kejujuran terhadap permasalahan lingkungan hidup, mulai dari problem pencemaran, pemulihan sampai pada penggunaan anggaran APBN/APBD (uang rakyat), dan tanggungjawab masalah manakala terjadi kerusakan dan pengrusakan lingkungan, baik oleh faktor alam (Tuhan) yang diakibatkan oleh manusia maupun oleh prilaku manusia.
Pemerintah juga tidak berdaya menghadapi corporate yang nakal dan atau mafia-mafia corporate. Pada dasarnya corporate yang menggurita adalah bagai anak nakal, sehingga atas kenakalannya Pemerintah mempunyai tanggungjawab sepenuhnya. Tetapi yang paling mengenaskan, Pemerintah kemudian berlutut terhadap kenakalan tersebut, sehingga Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan sebagai bencana nasional, dan mengambil alih tanggungjawab baik moral maupun material atas kerusakan lingkungan, seperti yang terjadi pada kasus Lumpur Lavindo di Sidoarjo. Pertamina di Indramayu, dan masih banyak lagi corporate seperti Lavindo Brantas, seperti di antaranya corporate yang bergerak dibidang Penambangan Emas, Batu Bara, PLTU, yang imbas buang produksinya menghasilkan limbah B3 atau polusi atau pencemaran terhadap kesehatan lingkungan yang melebihi ambang batas kenormalan.
Dana CSR Pertamina
Karena karakter corporate kebanyakan menjadi si anak nakal, maka dana CSR (Corporate Sosial Responsibility) yang menjadi tanggungjawab moral dan meterialnya menjadi terabaikan (baca: diabaikan) dengan berbagai alasan dan alibi untuk menghindar dari tanggungjawab moral dan material tersebut. Sehingga, masyarakat, di mana Pemerintah juga melepaskan tanggungjawabnya, harus melakukan aksi mulai dari yang santun sampai pada yang anarkisme.
Corporate yang berkewajiban secara moral dan material untuk menyediakan dana, baik untuk pergantian ganti rugi terhadap dampak langsung atau tidak langsung terhadap yang terkena kerusakan ataupun pengrusakan lingkungan maupun untuk pemulihan dan pemeliharaan terhadap keberadaan kesehatan lingkungan, ternyata corporate tersebut menghindar atau lari dari tanggungjwabnya.
Sebagai studi kasus, agar kita tidak bermain dengan bayangan dan bayang-bayang dalam hal CSR adalah Pertamina Balongan (Persero). Berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan secara moralitas, maka Pertamina Balongan, suka tidak suka, mau tidak mau, berkewajiban untuk menyediakan dana CSR untuk menjaga pelestarian dan kelestarian lingkungan hidup, terlebih jika adanya kerusakan lingkungan dari dampak produk migasnya.
Namun realitasnya, Pertamina Balongan selalu menghindar dari tanggungjawab moral dan material terhadap ketidaklestarian lingkungan, apalagi terjadinya kerusakan, apakah karena kelaliannya ataukah karena kesengajaannya, termasuk di dalamnya Pertamina Balongan yang tidak sungguh-sungguh melakukan pengelolaan limbah B3 atau limbah lainnya, seperti imbas gas buang dari kandungan etanol maupun etinil, yang berakibat adanya pencemaran lingkungan dalam perairan, di mana kondisi perairan atau air tanah disekitarnya sarat kandungan logam berat yang amat merusak kesehatan manusia.
Kasus yang kemudian meledak dengan tuntutan ganti rugi adalah peristiwa tumpahnya crude oil (minyak mentah) yang berkapasitas 150.000 DWT yang berdampak mencemari perairan sampai pada wilayah Kecamatan Kandanghaur atau sampai Desa Eretan, dan arah ke Timur sampai dengan Kerangkeng atau Karangampel. Tetapi Pertamina Balongan kemudian mengelak dari radius tersebut, kemudian bermain dengan pihak akademik yang melacurkan diri dengan penelitian dan analisisnya yang konon menggunakan teori gelombang atau angin dan teori kontaminasi, seolah-olah semua publik atau masyarakat Indramayu seperti kerbau atau keledai. Sehingga, ketika presentasi terakhir tidak mampu memberikan pertanggungjawaban ilmiah atau akademik dari kesimpulan analisis penelitian yang berangkat dari sebuah data (kepentingan) untuk bertanggungjawab secara moral dan material.
Karena Pertamina Balongan menghindar dari tanggungjawab moral dan materiolnya atas kerusakan lingkungan atas terjadinya pencemaran crud oil, masyarakat lantas melakukan aksi, mulai dari aksi yang santun dalam bentuk dialog atau audensi samapi aksi demo. Pertamina Balongan pun seolah-olah tidak mau mendengarkan dan atau dianggap angin lalu, sehingga aksi demo tersebut harus nyaris anarkis, baru kemudian Pertamina Balongan mau menyelesaikan masalah yang menjadi tanggungjawabnya.
Bupati sebagai representasi dari Pemerintah Daerah pun adalah dua sisi mata uang dengan Pertamina Balongan. Tidak bertanggungjawab dan menghindar dari tanggungjawabnya untuk menyelesaikan masalah. Dari September 2008 hingga kini (Agustus 2012) masalah ganti rugi belum terselesaikan seluruhnya, belum lagi masalah pemulihan lingkungan, tidak terhitung musnahnya berbagi jenis biota laut.
Dan Pertamina Balongan bersama Pemkab, dalam hal ini LH dan beberapa LSM antara lain KOMPI (Koalisi Masyarakat Pesisir), PP (Pemuda Pancasila), Siklus, juga terlibat dalam KKN, manakala penggunaan dana pembersihan atau penanggulangan pengangkatan crude oil yang tumpah dan berceceran di perairan dan pantai. Manipulatif penggunaan dana terjadi mulai dari pengupahan tenaga kerja, biaya angkut, limbah fiktif dan banyaknya pekerja yang melakukan pembersihan limbah. Sehingga, hasilnya tidak optimal dan kemudian dengan segala ketitaktuntasan lantas dibiarkan atau ditinggalkan begitu saja.
Lagi-lagi, kasusnya dipetieskan. Dalam kasus penyaklahgunaan dana CSR untuk penaggulangan pembersihan tumpahan crude oil tersebut ditangani oleh Polres Indramayu kemudian tenggelam. Bukan Indramayu jika proses hukum itu ditegakkan dengan baik dan benar.
Pertamina Balongan, konon telah mengeluarkan dana CSR pada tahun 2009 sebesar Rp 10, 2 milyar lebih yang diserahkan kepada Pemkab. Indramayu, yang kemudian digunakan untuk proyek Break Water, di mana proyek pembangunan Break Water tersebut sarat KKN (Korupsi Kolusi dan Nepostisme) yang disinyalir dibelakangnya proyek tersebut diberikan kepada Muspida, mulai dari Kapolres, Kajari, KaPn dan Dandim, yang tentu mekanismenya tetap (seolah-olah) ditenderkan atau lelang, yang indikasinya agar kasus-kasus yang terindikasikan KKN yang dilakukan Bupati pada saat itu (mantan Bupati) bisa ditengelamkan.
Kasus KKN Break Water semula ditangai Polres Indramayu kemudian (diambil alih) oleh Polwil (hingga lembaganya bubar), lantas oleh Polda Jabar, hingga kini dipetieskan kelangsungan proses hukumnya, padahal sudah banyak saksi atau yang diduga terlibat sudah dilidik dan disidik, bahkan Kejari Indramayu pun pernah melidik kasus Break Water yang sarat KKN tersebut. Jika Rp 10,2 milyar tersebut itu merupakan dana CSR, seharusnya tidak dibenarkan untuk itu. Karena masalah penanggulangan abrasi menjadi kemutlakkan tanggungjawab Pemerintah, baik Daerah maupun Pusat.
Pada tahun 2010, konon Pertamina Balongon menggelontorkan dana CSR senilai Rp 15 milyar, dan lagi-lagi diserahkan ke Bupati atas nama Pemkab. Indramayu. Ternyata, realitas dana CSR sebesar Rp 15 milyar tersebut lenyap dan raib, yang diindikasikan dipakai untuk pemenangan Pemilukada pasangan incumbent ASSU (Hj. Anna Sophanah – H. Supendi).
Kemudian Bupati pada hari Jum’at, 11 Februari 2011) membuat berbagai alasan dan alibi, di antaranya konon dana CSR tersebut telah dipakai untuk:
Bidang Pendidikan Rp 7.766.870.000,00 dengan rincian:
- Penyediaan Beasiswa Bagi Keluarga Tidak Mampu 6.600 siswa sebesar Rp 2.860.500.000,00
- Kerjasama Kelembagaan dengan Perguruan Tinggi dalam rangka Pemberian Beasiswa jenjang S-1 Bagi lulusan SLTA 300 mahasiswa Unpad, Polban, ICC sebesar Rp 4.906.370.000,00
Bidang Pembangunan Infra Struktur Rp 7.233.130.000,00 dengan rincian:
- Peningkatan Sarana dan Prasarana Gedung Kantor Penguji Kendaraan Bermotor Rp 1.428.885.000,00
- Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan Rumah Pengetahuan Rp 1.898.200.000,00
- Pembangunan Sarana dan Prasarana Rumah Sederhana Sehat Rp 244.058.000,00
- Pengadaan Alat-alat Berat Rp 1.672.857.000,00
- Peralatan dan Perlengkapan Alat-alat Berat Rp 530.000.000,00
- Pemeliharaan Saluran Irigasi di 32 lokasi Rp 1.459.130.000,00
Dana CSR yang kedua ini pun sesungguhnya tidak dibenarkan untuk penggunaan seperti tersebut. Dana CSR yang digelontorkan Pertamina Balongan ke tangan Pemkab. Indramayu berakhir dengan dijadikannya status tersangka KKN dana CSR adalah Drs. Rinto Waluyo, Mpd Bin Yoso Sudarno Kepala DPPKAD (Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah) oleh Kejari Indramayu dengan no.: 03/0.2.2.0./Fd.1/08/2011 tgl. 02 Agustus 2011 tapi Bupatinya berlenggangkangkung, dansama sekali tak tersentuh. Lagi-lagi kemudian kasusnya melenyap, entah ke mana. Kejari kemudian saling melempar jika dikonfirmasi kelanjutan proses hukumnya. Jika tidak begini atau begitu, bukan Indramayu namanya.
Maka, bagi Pertamina Balongan, CSR tersebut merupakan kewajiban material sebagai pertanggungjawab moralitas atas subyek atau Pelaku bersama Bupati (Pemkab. Indramayu yang harus bertanggungjawab terhadap kerusakan atau pengrusakan lingkungan.
Sedangkan CSR bagi masyarakat adalah hak sebagai obyek yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari akibat kelalaian atau kesengajaan pelaku, dalam hal ini Pertamina Balongan dan Pemkab. Indramayu.
Kemudian CSR bagi publik atau masyarakat luas merupakan keniscayaan perbaikan, pelestarian dan pemeliharaan lingkungan terhadap kehidupan makhluk hidup, baik di darat maupun di laut maupun di udara, agar kerusakan lingkungan yang ditimbulkan bisa dipulihkan kembali dan atau dikeseimbangkan lagi. Sehingga semua menjadi terjaga.
sumber: Oushhj dialambaqa Direktur PKSPD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar